Megentan'jatimpos-Fenomena pungutan liar (pungli) dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Indonesia, khususnya di Magetan, seolah tak pernah ada habisnya. Terlepas dari upaya pemerintah untuk memberantas praktik ilegal ini, pungli dalam pengurusan SIM masih menjadi masalah yang sulit diberantas. Kasus terbaru yang terungkap di Polres Magetan, seorang warga berinisial A mengaku dipaksa membayar sejumlah uang hingga 900.000 rupiah untuk mendapatkan SIM C, yang mengindikasikan adanya praktik korupsi yang melibatkan oknum aparat kepolisian.
Pada Kamis, 20 Februari 2025, A mengungkapkan kekecewaannya atas proses pengurusan SIM yang panjang dan berbelit. Ia mengungkapkan bahwa, meski sudah mengikuti prosedur yang berlaku dan melengkapi persyaratan sesuai aturan, dirinya merasa dipersulit. Bahkan, dengan alasan kejaran waktu terkait pekerjaan yang mendesak, A merasa terpaksa harus mencari jalan pintas. Melalui kenalannya yang merupakan oknum polisi di dalam Satlantas Polres Magetan, A diminta untuk membayar sejumlah uang yang cukup besar agar SIM-nya bisa segera terbit dalam waktu singkat.
Ironisnya, kasus pungli ini terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan memberikan pelayanan publik yang adil dan transparan. Pengurusan SIM, yang seharusnya melalui prosedur yang jelas dan tanpa intervensi pihak luar, malah terbukti melibatkan oknum yang memanfaatkan posisi mereka untuk meraup keuntungan pribadi.
Dalam proses yang seharusnya sederhana dan transparan, A akhirnya membayar sejumlah uang kepada oknum polisi yang berada di dalam, dan dalam hitungan satu hari, SIM C yang ia ajukan pun sudah bisa terbit. Situasi ini menciptakan pertanyaan besar: Mengapa pengurusan SIM yang seharusnya menjadi hak masyarakat justru bisa dipermudah melalui jalur pembayaran tidak resmi?
Pungli dalam pengurusan SIM bukanlah hal baru. Sejumlah laporan sebelumnya juga mencatat adanya praktik serupa yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Namun, yang menjadi sorotan utama adalah kenapa hal ini bisa terjadi di lingkungan kepolisian yang seharusnya menjadi pelopor dalam menegakkan aturan. Fenomena ini menunjukkan bahwa masih banyak oknum yang merasa tidak cukup dengan gaji yang diberikan negara, dan memanfaatkan kewenangannya untuk mencari celah keuntungan pribadi.
Kronisnya, masalah ini juga menyiratkan bahwa pihak berwenang di Polres Magetan, khususnya Satlantas, tampaknya menutup mata terhadap adanya pungli yang terus berlangsung. Apakah Kapolres Magetan sudah benar-benar mengawasi anggotanya dengan ketat? Ataukah ada pihak-pihak tertentu yang sengaja membiarkan praktik ini berjalan untuk kepentingan pribadi atau kelompok? Semua pertanyaan ini mengarah pada dugaan bahwa masalah pungli dalam pengurusan SIM sudah menjadi praktik sistemik yang sulit diberantas, bahkan di tingkat yang paling atas.
Tidak hanya merugikan masyarakat yang menjadi korban, pungli semacam ini juga mencoreng citra institusi kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap para pelaku pungli harus dilakukan dengan tegas dan transparan. Tidak ada tempat bagi oknum-oknum yang menyalahgunakan wewenang untuk merugikan masyarakat.
Fenomena pungli dalam pengurusan SIM ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Pemerintah, khususnya Kapolres Magetan, harus segera mengambil tindakan untuk mengatasi permasalahan ini dan memastikan bahwa aparat kepolisian di bawah jajarannya bekerja secara profesional dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian akan terus menurun jika kasus-kasus pungli seperti ini terus terjadi tanpa adanya tindakan tegas.
Semoga dengan adanya pengungkapan kasus ini, pihak berwenang dapat lebih serius dalam memberantas pungli dan menjamin pelayanan publik yang adil serta transparan di Polres Magetan.
Red