Sidoarjo'jatimps-Kasus penggelapan mobil yang terjadi di wilayah hukum Polres Sidoarjo kini memunculkan pertanyaan besar mengenai integritas penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam hal pelepasan tersangka yang diduga dilakukan dengan melibatkan sejumlah uang. Kasus ini berawal dari penangkapan tiga tersangka penggelapan mobil, yang terdiri dari T dan S asal Pasuruan serta L yang berasal dari Surabaya. Mereka ditangkap oleh Tim Jatanras Polres Sidoarjo.
Namun, setelah penangkapan tersebut, muncul keanehan yang sulit dipahami. Upaya konfirmasi terhadap pihak kepolisian terkait rilis resmi justru dibungkam oleh Kasat Reskrim Polres Sidoarjo, AKP Fahmi Amarullah. Kami, sebagai awak media yang berusaha menggali kebenaran, tidak mendapatkan jawaban apapun. Dan, beberapa minggu setelah penangkapan, dua dari tiga tersangka sudah menghirup udara bebas tanpa ada penjelasan yang jelas.
Narasumber dari yang berinisial i. , yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa tersangka bisa dibebaskan dengan imbalan sejumlah uang sebesar 150 juta Rupiah untuk membebaskan anaknya yang terjerat dalam kasus ini. Sang ayah bahkan mencoba melakukan patungan dengan dua tersangka lainnya untuk memenuhi permintaan tersebut.
Kami kaget mendengar informasi ini. Sebab, bagaimana bisa penegakan hukum yang seharusnya bersifat adil dan objektif bisa dipengaruhi oleh uang? Tersangka yang baru beberapa hari lalu ditangkap kini telah bebas begitu saja, seperti tidak ada kasus yang menjeratnya. Seolah keadilan bisa dibeli dengan harga tertentu.
Tidak berhenti sampai di situ, kami mencoba mengonfirmasi lebih lanjut kepada Kanit Pidum Polres Sidoarjo, Ibu Detik, pada 12 Februari 2025. Namun, jawabannya semakin mencurigakan. Dengan santainya, ia menjelaskan bahwa kasus ini telah dilakukan "RJ" (Restorative Justice) dengan korban. Padahal, dalam hukum pidana khusus seperti ini, RJ seharusnya tidak berlaku, karena ini adalah kasus penggelapan dengan kerugian materiil yang besar. Jika ada perdamaian, itu harusnya dilakukan dalam konteks laporan bukan pengaduan, sedangkan di sini pelaku adalah seorang penadah bekerja sama dalam bentuk kejahatan dalam perbuatan pasal 480/481 yang mana ketika kejahatan itu mafia yang musuh terbesarnya adalah negara
Yang menjadi pertanyaan besar adalah, bagaimana bisa kasus dengan kerugian fantastis seperti ini, yang merugikan korban hingga ratusan juta, bisa diselesaikan begitu saja dengan "perdamaian"? Apakah ini yang dimaksud dengan penegakan hukum di Indonesia, di mana hukum dijual dengan uang?
Pernyataan tegas dari Kapolri Jenderal Sigit Prabowo yang menekankan bahwa Polri tidak akan mentolerir praktek pungli dan tindak pidana yang melibatkan anggotanya sangat jelas. Apabila anggota Polri terlibat dalam tindakan melanggar hukum, maka mereka akan diberikan sanksi berupa pemecatan atau mutasi tugas.
Namun, kenyataannya di lapangan menunjukkan sebaliknya. Kasus ini menggambarkan betapa lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap aparat di lapangan. Polri seharusnya menjadi benteng keadilan, bukan alat untuk melindungi para pelaku kejahatan yang memiliki kekuatan uang. Keadilan seharusnya tidak memandang latar belakang ekonomi. Semua orang, baik yang kaya maupun miskin, harus mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum.
Jika masalah ini terus dibiarkan tanpa adanya kejelasan, maka kami, sebagai masyarakat dan kontrol sosial, tidak akan tinggal diam. Kami akan melakukan aduan resmi ke Polda Jatim dan melakukan aksi demo untuk menuntut agar kasus ini diusut tuntas dan keadilan ditegakkan. Kami ingin melihat apakah hukum di Indonesia masih ada atau hanya menjadi slogan kosong yang ada di bibir penguasa.
Kami menyerukan agar Polri mengedepankan keadilan sejati, tanpa pandang bulu, dan tidak menjadikan hukum sebagai komoditas yang bisa dibeli dengan uang. Hukum harus tegak, bahkan jika langit runtuh sekalipun, karena itulah yang diharapkan masyarakat dari lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung mereka.
Redaksi