Sidoarjo'jatimpos_ Rencana Kapolri untuk memberantas judi online (Judol) dan narkoba dan perbuatan kejahatan besar tampaknya hanya sekadar retorika belaka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tindakan tegas dari aparat penegak hukum dalam menindak para pelaku kejahatan tersebut. Ironisnya, dugaan praktik transaksional di tubuh aparat penegak hukum (APH) menjadi sorotan, memunculkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya ada di balik ketidakberanian ini?
Masyarakat mulai merasakan ketidakadilan di dalam sistem hukum negara ini. Istilah "hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah" seakan menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Pasalnya, banyak kalangan yang beranggapan bahwa siapapun pelaku kejahatan yang memiliki kemampuan untuk memenuhi keinginan oknum-oknum di lembaga penegak hukum, bisa membeli kebebasan atau setidaknya mengurangi hukuman yang dijatuhkan kepada mereka.
Fenomena ini bahkan terlihat dalam kasus penggelapan truk yang melibatkan pelaku berinisial L. Kejadian ini bermula ketika sebuah perusahaan truk yang kehilangan kendaraan mereka yang dibawa oleh L, yang tak kunjung kembali, akhirnya melapor ke Polres Sidoarjo. Dalam waktu yang relatif singkat, aparat kepolisian langsung bertindak sigap dan berhasil menangkap L di rumah istrinya di Kediri pada pukul 02.00 pagi.
Namun, kejadian ini justru semakin mencurigakan. Tidak hanya L yang terlibat, dua pelaku lain berinisial T dan S, yang berasal dari Pasuruan, juga diduga terlibat dalam aksi penjualan truk tersebut. Meskipun ketiga pelaku sempat ditahan di Polres Sidoarjo selama tiga minggu, ironisnya, kebebasan mereka datang dengan sangat cepat ...
Dalam sebuah wawancara dengan awak media pada tanggal 12 Februari 2025, Kanit Pidum Polres Sidoarjo, Ibu Detik jelaskan kepada awak media bahwa tersangka bebas dilakukan dengan RJ(Restorative .Justice)Namun, publik merasa ada yang tidak beres ketika pelaku yang terlibat dalam tindak pidana berat, seperti penggelapan dengan kerugian yang tidak sedikit, akhirnya bisa bebas tanpa proses hukum yang jelas..
Namun, dugaan praktik transaksional semakin menguat setelah informasi yang diterima awak media mengungkapkan bahwa keluarga salah satu pelaku, yakni ayah dari T, memberikan informasi bahwa sudah ada penawaran dari polres Sidoarjo Kabarnya, pihak keluarga sempat menjalin komunikasi dengan salah satu lembaga berinisial "I" untuk menjembatanya dengan menawar siapa tahu bisa turun dari 150 juta menjadi 100 juta begitulah yang disampaikan oleh ayah berinisial T ke lembaga yang bernisial i.
meskipun mereka hanya memiliki 100 juta rupiah. Dalam upaya "gotong royong". pihak keluarga berusaha keras untuk membebaskan ketiga tersangka, seolah tanpa rasa bersalah.
Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah aparat kepolisian di Sidoarjo benar-benar menjalankan tugas mereka sesuai dengan prosedur yang berlaku, ataukah mereka lebih memprioritaskan kepentingan pribadi melalui transaksi ilegal? Seandainya dugaan ini terbukti, maka hal ini tentu saja merusak citra lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan.
Yang lebih ironis lagi, tindakan aparat yang tidak tegas ini justru semakin merugikan masyarakat. Mereka yang telah menjadi korban tindak kejahatan, seperti pemilik truk yang digelapkan, merasa seperti menjadi pihak yang paling dirugikan dalam sistem hukum yang tak berjalan dengan baik. Bagaimana mungkin keadilan bisa ditegakkan, jika transaksi semacam ini terus dibiarkan?
Masyarakat pun bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya ada di balik ketidakberanian aparat penegak hukum dalam menindak tegas kasus-kasus semacam ini? Apakah ada pihak-pihak yang secara sengaja melindungi pelaku kejahatan demi kepentingan pribadi atau keuntungan materiil?
Jika hal ini terus dibiarkan, maka bisa dipastikan bahwa rasa keadilan di masyarakat akan semakin terkikis. Aparat kepolisian sebagai lembaga yang seharusnya menjadi panutan dalam penegakan hukum justru harus menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan kepercayaan publik. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk terus mengawasi dan memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: Apakah penegakan hukum di Indonesia benar-benar berdasarkan keadilan, ataukah hanya sekadar transaksi yang menguntungkan segelintir orang? Jika hal ini terus berlangsung, maka tak ada yang bisa memastikan kapan sistem hukum akan benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat.
Redaksi